Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian
timur laut Afrika.
Peradaban ini terpusat sepanjang pertengahan hingga hilir Sungai Nil yang mencapai
kejayaannya pada sekitar abad ke-2 SM, pada masa yang disebut sebagai
periode Kerajaan Baru. Daerahnya mencakup wilayah Delta Nil di utara, hingga
Jebel Barkal di Katarak Keempat Nil. Pada beberapa zaman
tertentu, peradaban Mesir meluas hingga bagian selatan Levant, Gurun Timur, pesisir
pantai Laut Merah,
Semenajung Sinai, serta Gurun Barat (terpusat pada beberapa oasis).
Peradaban Mesir Kuno didasari atas kontrol keseimbangan
yang baik antara sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh
- irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
- eksploitasi mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
- perkembangan awal sistem tulisan dan literatur independen;
- organisasi proyek kolektif;
- perdagangan dengan wilayah Afrika timur dan tengah serta Mediterania timur; serta
- aktivitas militer yang menunjukkan karakteristik kuat hegemoni kerajaan dan dominasi wilayah terhadap kebudayaan tetangga pada beberapa periode berbeda.
Pengelolaan kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh elit
sosial, politik, dan ekonomi yang mencapai konsensus sosial melalui sistem yang
rumit didasari kepercayaan agama di bawah sosok penguasa setengah dewa (semi-divine),
yang biasanya laki-laki, melalui suatu suksesi dinasti
penguasa yang dikenal oleh dunia luas sebagai kepercayaan politeisme.
Tentang peta Mesir Kuno. Bagian selatan Mesir mereka sebut Mesir baru.
Bagian Utara Mesir mereka sebut Mesir lama. Di Mesir baru ada lembah para raja,
tempat Kuburan Tuthankhamen. Di Mesir lama, ada Giza, tempat piramida paling besar.
Di Mesir, tentu saja ada Dewa dan Dewi. Salah satunya adalah Dewa Osiris, dewa kematian. Dewa-dewa lainnya adalah Isis, Tawaret, Thoth, Sebek, Nut, Amun-Ra, dan masih banyak lagi! Tahukah kamu, bahwa Orang Mesir Kuno menyembah kurang lebih 2.000 dewa dan dewi.
Di Mesir, tentu saja ada Dewa dan Dewi. Salah satunya adalah Dewa Osiris, dewa kematian. Dewa-dewa lainnya adalah Isis, Tawaret, Thoth, Sebek, Nut, Amun-Ra, dan masih banyak lagi! Tahukah kamu, bahwa Orang Mesir Kuno menyembah kurang lebih 2.000 dewa dan dewi.
Wisata Mesir
Dengan peradaban
yang telah dimulai sejak sekitar 7000 tahun yang lampau, Mesir menempatkan dirinya dalam urutan atas
negara-negara tujuan wisata dunia. Hal ini tidak aneh, apalagi Pyramid dan
Sphinx (salah satu dari tujuh keajaiban dunia) sudah ribuan tahun sebelum
Masehi berdiri kokoh menjadi saksi bisu lahirnya peristiwa-peristiwa bersejarah
di lembah Nil.
Jangan pula
heran bila anda melangkah di negara ini, setiap jengkal tanah yang dipijak akan
mengisahkan peristiwa sejarah tersendiri, begitulah kira-kira. Seakan-akan kita
sedang berjalan menelusuri sebuah museum raksasa yang menyimpan ribuan
peninggalan sejarah berbagai peradaban, mulai dari Mesir Kuno (coptic), Fir'aun
(pharaoh), Yunani (Hellenisme), romawi hingga peradaban Islam yang pernah ada
dan berkembang di negeri Ardhul Kinanah ini.
Drama sejarahnya
dimulai ketika menjelang tahun 3400 SM. Kala itu di Mesir timbul revolusi
kebudadyaan yang merupakan titik-tolak kemajuan zaman, yaitu dimulainya budaya
bercocok tanam. Sehingga sifat nomaden berubah menjadi sikap menetap, lalu
terbentuklah masyarakat baru. Setelah kian berkembang akhirnya tersusun
kerajaan-kerajaan kecil.
Menjelang tahun
3000 SM. kerajaan kecil itu terkelompok menjadi dua kertajaan besar, yaitu
Mesir Hulu di daerah Selatan dengan ibukota Thebes (kini Luxor) dan Mesir Jilir
di bagian Utara dengan ibukota Memphis. Bahkan, selanjutnya raja Mesir Hilir
yang bernama Menes bisa menyatukan dua kerajaan tersebut, dan ditetapkanlah Memphis sebagai ibukota.
Usaha Menes rupanya tak cuma itu, pada zamannya pula berhasil diciptakan jenis
huruf atau lambang Hieroglyphics.
Rangkaian
sejarah ini sejalan dengan ungkapan bangsa Yunani yang menyebut Memphis untuk sebuah nama ibukota Mesir Kuno (2615-1990
SM.), terletak di dekat Sakkara. Kerajaan awal
dari dinasti pertama didirikan di kota
ini, dan disitu juga banyak kuburan para pemamgku dinasti pertama (3200 SM.)
maupun kuburan hampir semua raja dinasti kedua. Sememnjak berdirinya kerajaan
baru (1570-332 SM.), ibukota Mesir Kuno lalu berpindah dari Memphis
ke Thebes.
Meskipun administrasinya dijalankan di Tehbes, tapi kebanyakan pegawai
pemerintahan tetap tinggal di Memphis dan
dikuburkan di Sakkara. sakkara itu sendiri
dibangun untuk raja Zoser dari dinasti ke-3.
Seorang
budayawan bernama Champollion yang mengikuti ekspedisi Napolen Bonaparte ketika
menduduki Mesir tahun 1798 berusaha menyelidiki sebuah batu bertulis (prasasti)
yang ditemukan di kampung Rasyid (belakang dikenal dengan Rosetta Stone).
Prasasti tersebut memuat dekrit Ptolomeus V dari Yunani, tahun 320 SM. Dekrit
itu terdiri atas tiga tulisan, yaitu: Hieroglyphics, Demotic, dan Coptic yang
merupakan terjemahan antara satu sama lainnya.
Dalam penyelidikan
Champollion selama puluhan tahun atas prasasti itu, terbacalah nama Ptolemy dan
Cleopatra. Sejak saat itu huruf Hieroglyphics dapat dibaca, dan tersingkaplah
rahasia sejarah Mesir Kuno.
Hingga tahun 332
SM. atau selama 2.250 tahun, Mesir Kuno telah diperintah oleh 330 Fir'aun yang
terbagi menjadi 31 dinasti. Setelah itu datang Iskandar Agung, Romawi, Yunani,
dan Islam yang dibawa oleh panglima 'Amru bin 'Ash pada tahun 641 M.
Diantara warisan
sejarah Mesir yang berada di sekitar Cairo
sebagai berikut: [klik pada tempat wisata yang ingin anda kunjungi.
- Pyramid dan Sphinx
- Benteng Salahudin
- Masjid Bersejarah
- Museum Mesir di Tahrir
- The Egyptian Ancient Thebes
- Port Said
- Sinai
- Iskandariyah
- Aswan
- Faiyoum
- Benteng Salahudin
- Masjid Bersejarah
- Museum Mesir di Tahrir
- The Egyptian Ancient Thebes
- Port Said
- Sinai
- Iskandariyah
- Aswan
- Faiyoum
Mesir Kuno adalah suatu peradaban
kuno di bagian timur laut Afrika.
Peradaban ini terpusat sepanjang pertengahan hingga hilir Sungai Nil yang mencapai
kejayaannya pada sekitar abad ke-2 SM,
pada masa yang disebut sebagai periode Kerajaan Baru. Daerahnya
mencakup wilayah Delta Nil
di utara, hingga Jebel Barkal
di Katarak Keempat Nil. Pada
beberapa zaman tertentu, peradaban Mesir meluas hingga bagian selatan Levant, Gurun Timur, pesisir
pantai Laut Merah, Semenajung Sinai, serta Gurun Barat (terpusat pada
beberapa oasis).
Piramida Khafre (dinasti keempat Mesir) dan
Sphinx Agung Giza (± 2500
SM atau lebih tua).
Peradaban Mesir Kuno
berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi
awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3150 SM, peradaban ini secara tradisional
dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, sewaktu Kekaisaran
Romawi awal
menaklukkan dan menyerap wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun
hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan
Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah
Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen
Mesir.
Peradaban Mesir Kuno
didasari atas kontrol keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan
manusia, ditandai terutama oleh
- irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
- eksploitasi mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
- perkembangan awal sistem tulisan dan literatur independen;
- organisasi proyek kolektif;
- perdagangan dengan wilayah Afrika timur dan tengah serta Mediterania timur; serta
- aktivitas militer yang menunjukkan karakteristik kuat hegemoni kerajaan dan dominasi wilayah terhadap kebudayaan tetangga pada beberapa periode berbeda.
Pengelolaan
kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh elit sosial, politik, dan ekonomi yang
mencapai konsensus sosial melalui sistem yang rumit didasari kepercayaan agama di
bawah sosok penguasa setengah dewa (semi-divine), yang biasanya
laki-laki, melalui suatu suksesi dinasti penguasa yang dikenal oleh dunia luas
sebagai kepercayaan politeisme. Lembah yang dahulunya dibanjiri Sungai Nil,
maka lembah tersebut terlihat jauh lebih subur daripada gurun pasir
disekitarnya.
Para egyptologist awal
abad 20 menyimpulkan bahwa peradaban Mesir kuno klasik telah dibawa menuju
Lembah Nil oleh sebuah “ras dinastik” penyerbu. Mereka yakin bahwa para
penyerbu itu superior secara budaya dan politik dari “Penduduk Mesir Prasejarah” asli, dan bahwa mereka dengan cepat
menetapkan diri sebagai penguasa negeri itu. Pada awal abad 20, ilmu metrologi
tengkorak, yaitu menggunakan pengukuran tengkorak untuk menentukan
karakteristik rasial, sudah lumrah. Ini juga digunakan untuk memperkuat teori “ras superior” di Mesir tersebut.Bangsa penyerbu superior ini dipercaya berasal dari sebuah daratan di sebelah timur Mesir, mencerminkan pandangan yang tersebar luas bahwa Timur adalah sumber pokok kebudayaan awal. Seni kerajaan Mesir pada masa Dinasti ke-1 dianggap mirip dengan yang ditemukan di Mesopotamia, dan banyak orang percaya bahwa raja-raja awal Mesir berasal dari wilayah Irak modern. Pada 1930-an, teori ini diberi kepercayaan lebih jauh oleh Hans Winkler, seorang Jerman yang menjadi sangat dikenal dalam egyptology berkat eksplorasinya di Eastern Desert. Di sana dia menemukan banyak seni batu kuno di antara Lembah Nil dan Laut Merah. Yang signifikan adalah sejumlah citra perahu yang mencolok, dan juga sangat mirip dengan kapal air yang ditemukan dalam seni Mesopotamia.
Namun, di awal abad 20, kronologi dunia kuno masih sangat kurang diketahui, dan pada saat itu Winkler juga tidak mengetahui bahwa perahu-perahu Mesir ini mendahului rekan Mesopotamia mereka selama berabad-abad. Oleh sebab itu, dia menyatakan bahwa Mesopotamia diserbu oleh Mesir melalui Laut Merah, meninggalkan bekas perjalanan mereka di bebatuan sewaktu mereka melintas menuju Sungai Nil.
Teori invasi ini merupakan produk zaman itu. Tokoh-tokoh seperti Hitler mendukung pendekatan ini, tapi kenyataannya teori-teori difusi (penyebaran) bahwa kelompok-kelompok ras superior membawa peradaban kepada penduduk asli sangat populer di kalangan kekuatan kolonial Eropa barat. Pada waktu itu Afrika dikenal sebagai “jantung kegelapan”, dan dianggap tak mampu menghasilkan kebudayaan maju tanpa pengaruh luar. Ternyata kekalahan Nazisme-lah, dan pemberian kemerdekaan kepada banyak bekas koloni Eropa di Afrika, yang pada akhirnya mendorong popularitas teori-teori semacam itu.
Meski teori invasi bertahan di kalangan segelintir egyptologist untuk beberapa waktu, dan meski melihat kebangkitan karya-karya populer di akhir 1990-an, sebagian besar akademisi menghentikan penyelidikan asal-usul asing peradaban Mesir. Hari ini kita justru mencari perkembangan pribumi dan akar kebudayaan dinasti Mesir di Lembah Nil dan wilayah dekat sekitar tempat lahir peradaban ini.
Riset arkeologis intensif telah, setelah bertahun-tahun, membuka banyak rahasia tentang Mesir prasejarah. Pemahaman kita atas peradaban Mesir kini bisa ditelusuri melewati sekuens perkembangan yang panjang hingga tahun 5000 SM dan lebih awal, hampir 2000 tahun sebelum Dinasti ke-1 Mesir. Kita telah menemukan, bahkan sebelum 5000 SM, bukti tentang komunitas awal kaum pemburu-pengumpul di sepanjang Lembah Nil dan di pesisir Danau Qarun di Fayoum, serta tentang penduduk palaeolithic yang hidup sekitar 300.000 tahun lalu.
Kini pengetahuan kita mengenai kebudayaan dinasti Mesir awal juga telah mengubah pandangan kita tentang bagaimana peradaban Mesir klasik muncul. Sedikitnya sejak enam puluh tahun lalu, dan bahkan hingga hari ini di kalangan beberapa teoris populer, dianggap bahwa dinasti Mesir yang kita kenal itu tampaknya muncul secara tiba-tiba dari kevakuman budaya. Namun, seperti piramida sendiri yang berkembang melalui eksperimen selama bertahun-tahun, yang terkadang mengakibatkan kerusakan, hari ini kita dapat menikmati kebudayaan Mesir yang telah melewati masa kehamilan panjang, dan [menikmati] fakta bahwa akarnya sungguh-sungguh terdapat di Mesir sendiri.
Namun, kita harus akui, sebagaimana terhadap kebanyakan kebudayaan lainnya, bahwa Mesir tidak kebal dari pengaruh asing. Kenyataannya, kebudayaan yang paling sukses harus meminjam kemajuan teknologi dari kebudayaan lain, meskipun mereka menghasilkan beberapanya sendiri. Karena itu jelaslah bahwa kebudayaan Mesir Pradinasti mau menerima ide-ide dari daratan tetangga. Motif arsitektur dan artistik asing, dan bahkan mungkin ide penulisan, diadopsi oleh bangsa Mesir di permulaan sejarah. Bagaimanapun, seperti kereta perang Kerajaan Baru yang diadaptasi dari sumber asing lalu dimodifikasi menjadi lebih ringan agar lebih mudah dikendalikan di daratan Mesir dan dalam taktik pertempuran Mesir, semua peminjaman dari zaman paling awal tersebut segera cocok ke dalam konteks Mesir. Karena itu, sudah pasti tidak ada bukti apapun mengenai invasi dinasti penakluk, meski di zaman kuno, sebagaimana sekarang, Mesir merupakan tempat percampuran budaya di mana Afrika, Asia, dan Mediterania bertemu. Peradaban yang muncul di Lembah Nil dapat menyerap pengaruh dari semua area tersebut.
Namun, meski peradaban Nil tidak muncul dari pengaruh asing, bukti terbaru menyiratkan bahwa pendorong di balik perkembangan ini mungkin bukan pengadopsian cara hidup agrikultur yang menetap sebagaimana anggapan arkeolog suatu kali. Justru, sepertinya ketegangan eksistensi tak menentu di lingkungan safana kering pihak musuh hingga timur dan barat, di mana sekarang hanya tersisa sedikit di antara gurun pasir, mengakibatkan migrasi sekawanan penduduk semi-nomaden secara bertahap menuju Lembah Nil. Hampir seperti daerah kosong, Lembah Nil mulai menyerap nomad-nomad ini setelah padang rumput mereka mengering, dan ini juga bisa jadi merupakan stimulus penting bagi perkembangan pesat peradaban Mesir, memaksa populasi besar memasuki area yang jauh lebih kecil.
Sebagai catatan pinggir, kita mesti menyebutkan bahwa bukti yang sama yang mengesampingkan penyerbu asing normal juga jelas menunjukkan fakta bahwa peradaban Mesir kuno tidak berhutang eksistensi kepada bangsa Atlantis atau extraterrestrial. Teori-teori populer semacam itu telah ada selama bertahun-tahun, terutama sejak 1960-an. Para penulis mendapatkan audiens yang berhasrat pada ide-ide menggelikan demikian, sekalipun teori mereka cacat. Biasanya mereka menghadirkan bukti yang sangat selektif, bukan konteks luas materi mengenai evolusi peradaban Mesir.
Ringkasnya, selama beberapa ribu tahun, perubahan lingkungan dan pengaruh asing membentuk perkembangan gradual sebuah peradaban, yaitu, menurut analisis final, Mesir yang khas dan unik. Di Mesir kuno, telur dianggap sebagai simbol kelahiran dan kebangkitan, dan memang Mesir, sebagaimana telur sendiri, memberi makan penduduknya dari dalam, sambil menyediakan cangkang keras untuk melindungi mereka dari bahaya luar. Ketika safana-safana mengering menjadi gurun tandus, memaksa penghuninya menjadi populasi sesak, safana itu juga mengasuh dan melindungi orang-orang ini, memungkinkan mereka berkembang di sepanjang Nil yang subur nan kaya, menjadi kerajaan besar yang kita temukan di masa berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar